Halaman

Senin, 21 Juli 2014

Usia Pakai Ban dan Rantai

BERAPA jarak waktu ideal untuk mengganti gear-rantai secara total untuk motor Supra X-125?

Itu pertanyaan yang ada di kepala saya melihat kenyataan rantai si Nenen saya ini sudah agak berisik bila dkendarai. Kalau ngebut sih tidak kedengaran, tetapi saat dikendarai secara pelan, kerasa betul bunyi itu. Ohya, si Nenen ini saya beli tahun 2010 pada pertengahan Mei. Secara gampang ia sudah saya kendarai selama 4 tahun, dengan jarak tempuh rata-rata 50 km/hari. Nah, memang sudah waktunyakah di usa pemakaian segitu gir-rantainya diganti?

Niat untuk mengganti itu sebenarnya sudah ada sejak tiga bulan yang lalu. Tetapi ketika hal itu saya utarakan kepada seorang teman yang agak mengerti motor, dan saya disarankan untuk memotong saja rantainya dulu. Toh gerigi gir-nya belum lancip, yang itu tandanya, menurut si teman, ia masih layak untuk dipakai. Tetapi mengingat setelan rantai sudah mentok, dipotong adalah satu-satunya cara yang masuk akal (baca: murah, bahkan tanpa biaya).

Tidak hanya menyarankan, si teman itu jugalah yang memotongkan ranti si Nenen. Benar memang, setelah 'diamputasi', si rantai kembai 'normal', bisa disetel, sekaligus tidak lagi berisik. Namun, tiga bulan kemudian, si rantai kembali bersuara. Bisa sih disetel dengan dikencangkan lagi, atau nanti dipotong lagi. Tetapi, karena rencananya lebaran nanti si Nenen saya pakai perjalanan mudik jarak jauh, sepertinya agak riskan kalau si rantai itu kembali saya 'amputasi'. Ya, harus ganti baru.

Kebetulan, waktu tiga bulan yang lalu itu sebenarnya saya sudah membeli satu set rantai untuk Supra X-125 seharga 130 ribu, namun karena 'kebaikan' teman saya yang telah memotongkan rantai, tertunda akhirnya si Nenen berrantai baru. Nah, saat ini, disaat banyak orang menyiapakan baju baru, tidak ada salahnya juga, saya pikir, saya pakaikan juga rantai baru buat si Nenen.

Di sebuah bengkel, sambil sekalian service dan ganti oli, Jumat kemarin si Nenen resmi berganti rantai. Habis tune-up, oli baru plus rantai baru, motor ini makin mantap dikendarai. Intinya, menurut saya, ia sudah siap dibawa mudik nanti.

Tetapi, bukan berarti segalanya siap. Kemarin sore, sesaat setelah saya pompa ban belakang yang agak kurang angin, saya temui ada keretakan pada ban belakang. Ya, retak, bukan robek karena benda asing. Masalah apa pula ini? Padahal 'batik'-nya si ban merek Federal itu masih bagus, karena masih belum enam bulan saya ganti. Kalau ban dalamnya malah baru tiga minggu yang lalu diganti.

Bahaya itu,” kata seorang teman. “harus diganti ban baru, supaya tidak pecah saat dikendarai di jalanan yang panas. Saya juga pernah mengalami itu. Iya, ban si Revo saya retak memanjang pada bagian tengah 'batik'-nya. Sama seperti punya Sampeyan, padahal usia pakai masih belum lama. Saran saya, ya itu tadi, lebih baik ganti ban baru, daripada celaka di jalan.”

Tentu saja nasihat itu masuk akal, sekaligus menakutkan. Tetapi, kenapa ban yang secara usia pakai masih tak terlalu lama bisa mengalami keretakan tersebut?

“Bisa jadi itu karena ban itu lama digudang. Baru terjual di masa injury time sebelum batas expired. Ya, seperti sepatu baru tetapi hanya disimpan, pasti bagian bawah/karetnya mrotoli walau tak pernah dipakai,” begitu logika teman saya.


Benarkah demikian? *****

Sabtu, 01 Maret 2014

Satu Supra Sejuta Saudara?


SEBELUM punya si Nenen ini, tunggangan saya kemana-mana adalah Astrea Grand Impressa keluaran '97. Kalau diingat-ingat lagi sekarang, saya agak menyesal juga telah menjualnya. Lebih-lebih ketika melihat seorang teman masih merawat Honda Prima-nya walau sudah punya si Jupiter dari Yamaha.

Aku bisa punya Jupiter ini juga karena si Prima,” ujarnya. “Jadi, sebagai rasa terima kasih, aku tidak akan menjual kendaraan yang kumiliki pertama...”

Tentu, kenapa saya menjual si Grand ada pertimbangannya. Selain ia bikin rumah yang sempit jadi sesak, juga (ini yang utama) karena saya waktu itu lagi butuh duit.

Tentang kenangan bersama si Grand, jangan ditanya. Ada banyak sekali. Dari yang mogok karena kebanjiran, gara-gara cop busi yang rusak, atau ban kempis di tengah bulak (persawahan yang jauh dari perkampungan). Sekarang, sekali lagi, kalau mengenang itu, duh sayang sekali....

Sebagai kendaraan tua, rewel ini-itu bahkan pernah sampai turun mesin, adalah hal lumrah. Dan di situ itulah seninya. Dibanding, misalnya, si Nenen ini yang karena terbilang baru, jarang sekali ada keluhan.

Tetapi, tentang rasa senasib antar sesama pengguna kendaraan, tiada yang mengalahkan satu jiwanya pemilik Vespa. Seorang teman yang memiliki 'tunggangan kebangsaan' berjenis Vespa kepada saya sempat berucap, “Walau tidak kenal, ketika Vespa saya ini mogok di suatu tempat, ketika ada pengendara Vespa lain, pasti akan berhenti, menolong. “

Itu, kalau benar ceritanya, sungguh tak saya alami kala dulu si Grand saya mogok. Walau ada beberapa pengendara yang menunggang Grand, tak satu pun dari mereka yang berhenti untuk, paling tidak, sekadar bertanya 'kenapa', misalnya.

Cerita teman itu makin saya percaya ketika di sebuah program dokumenter yang ditayang MetroTV beberapa hari yang lalu mengangkat kisah Satu Vespa Sejuta Saudara. Digambarkan di situ betapa antar sesama Scooterist (begitu pengendara Vespa menyebut dirinya) erat sekali hubungannya. Tak kenal tapi bila mendapati seseorang mengendarai Vespa, di mana pun tempatnya, itu telah dianggap sebagai saudara.

Entahlah, atas cermin dari para Scooterist itu, apakah sesama pengguna SupraX mempunyai itikat untuk membuat hal yang sama. Seraya (walau latah meniru slogan milik mereka) menebar semangat; Satu Supra Sejuta Saudara. *****