Halaman

Sabtu, 14 Desember 2013

Kemacetan Jalanan



GERIMIS turun tinggal satu-dua ketika saya memanaskan mesin di parkiran, sore tadi. Pada display odometer digital si Nenen menunjuk angka cantik; 47272.7 km, sementara layar ponsel mEmampang jam 16.09 di sisi kanan bawah. Pada saat itu saya melepas sepatu dan berganti memakai sandal. Dalam bermotor, tentu saja dengan mengenakan sepatu kaki akan lebih aman.  Tetapi di saat gerimis begini, ketika jalanan banyak genangan sisa hujan, sepatu dikenakan bagi saya terasa eman-eman

Tiga menit berselang, saya sudah berada di pos BRC, menjulurkan jari kelingking untuk dipindai pada alat finger print. Semenit berikutnya, saya sudah berada di pos 1 untuk berhenti sejenak; kali ini body check. Aman, clear. Pak satpam mempersilakan saya keluar, pulang. Namun nahas bagi Ateng (sejatinya namanya Sunaryo, tetapi lebih dikenal sebagai Ateng), Astrea Prima keluaran tahun ’91 dengan nopol cakep L 2225 K-nya mogok. Padahal siang tadi saya lihat telah diutak-atik karboratornya. “Kabelnya nempel bodi,” katanya ketika saya tanya.

Saya hanya bertanya, karena untuk urusan utak-atik motor ia memang jagonya. Saya? Oh, jangan tanya, unutuk urusan permesinan, sama sekali buta!

Demi melihat langit masih hitam sementara gerimis belum  juga bosan turun, pak Sulton (satpam yang sedang kebagian berjaga di Pos 1) menyarankan saya memakai jas hujan. Baiklah, saya pikir itu juga tidak salah; hitung-hitung dalam rangka bersiap-siap, siapa tahu di depan hujan deras lagi. Atau walau tidak begitu, bagi pengendara motor, lebih baik hujan sekalian, daripada gerimis atau jalanan basah habis hujan. Bukannya kenapa, bila hujan sudah reda tetapi jalanan masih basah, bila tak memakai mantel, kecipratan ketika disalip motor atau mobil, bila terkena pakaian noda jalanan agak sukar dibersihkan.

Seorang teman yang kebagian masuk sift sore tadi bilang, HR Muhammad, Mayjen Sungkono sampai jalan Diponegoro macet tidak karuan. Namun saya tetap tidak menunda untuk pulang, selain ingin membuktikan separah apakah kemacetan itu, sebab lainnya adalah demi membuat catatan ini.


Selepas patung kuda, saya memacu motor seperi biasanya. Jalanan normal-normal saja. tetapi persis di depan apartemen Taman Baverly, nah ini dia; kemacetan mulai terasa. Mobil-mobil berjejalan tak berjalan di sisi kanan, sementara R-2 masih bisa merayap di lajur kiri. Jarak antar kendaraan yang padat sungguh membuat saya yang bermantel model kelelawar merasa gerah. Sementara gerimis turun masih dengan tingkat kekerapan yang tetap satu-dua. 

Saya tidak tahan untuk terus mengenakan jas hujan. Di depan Ming Garden, sebuah Chinese Restaurant, saya melepasnya. Jam menunjuk angka 16.26. Oh, memacu motor  sekitar duapuluh menit  hanya menempuh dua kilometer?

Kendaraan terus merayap, sampai kemudian di sekitar bawah jembatan tol Satelit, saya lihat mobil-mobil itu tak lagi bergerak. Diam, dengan mesin yang terus menyala, dengan BBM yang karenanya terbuang percuma. Di antara mobil-mobil lain yang lebih rendah, truk tanki Pertamina berkapasitas 32 ribu liter bernopol L 9445 UH nampak mencolok, juga tak bergerak. Mulai lampau traffic light  menyala  hijau sampai merah sampai hijau lagi, ia tetap berhenti. Di Bundaran Satelit rupanya beberapa polisi sedang mengurai kemacetan yang panjang dengan rekayasa tanpa melibatkan lampu bang-jo.

Sekian menit terhambat, akhirnya saya berhasil juga melepaskan diri dari keruwetan di sekitar bundaran. Sampai di seberang Makam Pahlawan, kendaraan sudah bisa dipacu lebih cepatan sedikit, sebagaiman gerimis yang sudah lebih layak disebut hujan. Sama halnya pak polisi yang merekayasa lalin di Satelit, di TL Mayjen Sungkono yang tidak jauh dari TVRI pun dilakukan demikian. Untungnya kami berhenti di situ tak seberapa lama, sehingga hujan belum begitu membuat saya kembloh, basah kuyup.

Tidak bisa tidak, saya harus mengenakan mantel lagi. Baiklah, tepat di seberang TVRI, di belakang kendaraan bernopol L 1563 WZ, Chery QQ buatan Tiongkok yang sedang mogok, saya memakai jas hujan kembali.

Aman, mulai di depan hotel Shang-rila kecepatan laju kendaraan bisa ditingkatkan. Bisa 40 km/jam. Bahkan di seberang Ciputra World bisa digeber lebih cepat lagi; 60 km/jam. Namun, sesampainya di ujung Mayjen Sungkono, naga-naganya tak bisa lagi begitu. Kendaran pada memelan. Selain unsur kepadatan, jalanan sedang licing imbas dari pemasangan box culvert  yang entah mengapa dikerjakan pasa saat musim hujan.

Adityawarman yang saya curigai terjadi kemacetan, ternyata malah aman. Namun pilihan selanjutnya diperlukan; saya lewat Ciliwung atau Kutai? Ah, gambling saja, saya ambil Kutai. Dan syukurlah, pilihan saya tak keliru; jalan Kutai tak ada kepadatan. Bahkan saya bisa membawa si Nenen menusuk jalan Diponegoro dengan aman. Namun, astaga! Jalan Diponegoro selepas lampu merah yang kalau nganan ke Ciliwung, ekor kemacetan mulai nampak nyata. Tepatnya mulai di depan Greja Kristen Jawi Wetan Jemaat Darmo. Saya lirik layar ponsel menunjuk angka 17.05 WIB, dan pada odometer tertera angka 47279.3 km.
Hujan terus turun, kemacetan terus berlangsung. Sebagai pengendara motor yang bukan penganut sliat-sliut zig-zagisme (ah, istilah apa ini?), saya tetap mengambil lajur kiri. Dari situ, sampai seberang Bonbin, terus sampai mulut jalan Wonokromo, semua kendaraan melaju sangat pelan.

Di mulut jalan Wonokromo itu saya kembali harus menentukan pilihan; terus lewat Wonokromo, A. Yani, Frontage Road, lalu Margorejo, atau ambil kiri via Jagir, Panjangjiwo? Melihat kendaran yang berjubel di Wonokromo, bahkan yang melambung lewat  fly over Mayangkara, saya memutuskan lewat Jagir saja.

Kalaulah Jagir macet, paling-paling di perlintasan KA saja, yang setelah KA lewat, biasanya semua kendaran menjadi saling serobot tak karuan. Lebih-lebih yang melintas sebelumnya KA tanki BBM Pertamina yang rangkaiannya begitu panjang. Untunglah kecemasan saya tak terbukti. Bahkan perempatan Panjangjiwo yang langganan macet, sore tadi juga tak ada kepadatan. 

Selepas Panjangjiwo saya bisa ambil napas panjang. Lega, selega jalan yang lancar jaya. Kalau mau, bisa saja saya pacu si Nenen dengan kencang. 60 atau bahkan 80 km/jam. Namun, jalanan yang licin karena basah begitu, tentu saya tak perlu ambil risiko. Dan tetap konstan pada 40 km/jam.

Belok kanan masuk Raya Kalirungkut, saya tetap tidak ngebut. Jalanan cenderung lengang bukan alasan untuk berlaku sok jagoan. Bukankah yang hanya pantas ngebut di jalanan kota hanyalah mobil ambulans dan mobil pemadan kebakaran, itu pun kalau sedang ada kejadian yang perlu cepatnya penanganan?

Tepat pukul 17.36 WIB saya sampai rumah, alhamdulillah, dengan selamat. Dengan odometer menunjuk 42786.7, secara jarak tempuh yang saya lalui barusan persis 14 kilometer, dan saya capai dalam catatan waktu 1 jam 25 menit.

Bayangkan, 14 kilometer dalam hampir satu setengah jam!

Saya belum pernah ke Jakarta yang katanya di sana kemacetan jauh lebih gila. Perihal kemacetan di jalan-jalan, kemudahan mendapatkan kredit motor sempat dibilang sebagai salah satu faktor. Dan itu, belakangan ini, malah diperparah dengan hadirnya mobil murah. Sekali pun masih bisa dipertanyakan mobil itu sebenarnya murah untuk siapa, tidak bisa tidak, kemacetan adalah sudah merupakan problem yang mendesak harus dicarikan solusinya.
Menurut saya, sepanjang infrastruktur belum begitu mendukung, kehadiran mobil murah malah bisa menambah masalah. Ya, Anda benar, jalan mengurai kemacetan adalah tersedianya sarana transportasi massal yang bisa menjangkau semua tujuan orang. Menuju ke tempat kerja, belanja, sekolah dan sebagainya. Idealnya, segala moda itu harus bisa menjangkau, sekaligus juga dengan tarif terjangkau. Ukuran keterjangkauan itu gampang saja bandingannya; yakni konsumsi bensin motor. Bila sebelumnya dengan roda dua sekali jalan hanya menghabiskan setengah liter bensin, tentu orang akan sangat keberatan bila ongkos naik angkutan umum yang senilai 10 ribu rupiah, misalnya.

Ya, (janganlah dulu bilang menghapus) solusi mengurai kemacetan memang bukan perkara gampang, tetapi itu juga bukan hal yang tidak mungkin ditemukan.  *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar