Halaman

Sabtu, 03 Agustus 2013

Sedikit Catatan Mudik Pakai Motor



SEBAGAIMANA pada peristiwa mudik lebaran tahun-tahun yang lalu, moda transportasi yang banyak digunakan para pemudik adalah motor. Walau telah ada anjuran untuk mudik menggunakan moda lain, para pemotor (pemudik pakai motor) ini tetaplah besar. Memang ada sebagian pemudik yang mengirimkan motornya pakai kereta api atau diangkut truk, tetapi, yang bermotor menempuh perjalanan jauh berdua atau bertiga (berempat, kadang) tetaplah ada.

Tentang risiko keselamatan di jalan tentulah memang nyata adanya. Dan itu tidak melulu menghantui para pemudik pakai motor. Namun, sebagaimana kita mafhum, pengemudi motor, kalau terjadi lakalantas di jalan, adalah pihak yang paling rentan mengalami risiko terparah. Tentang ini bukanlah hal yanh tidak diketahui para pemudik pakai motor itu. Tetapi, umumnya, mereka nekat bermotor sambil mengangkut beban yang lumayan banyak itu, perhitungannya ekonomi juga. Dengan bermotor, ada banyak penghematan yang dilakukan. Dan hasil dari penghematan itu, bisa dibelanjakan untuk hal-hal lain sesampainya di kampung nanti. 

Tetapi yang tetap tak boleh dilupakan para pemotor itu, adalah kondisi kesehatan, baik pengendara maupun motornya sendiri. Dan ini, sepertinya, telah diantisapasi jauh-jauh hari. Buktinya, dua minggu sebelum mudik, tak satupun bengkel motor yang sepi. Banyaknya motor yang diservis, menunjukkan si empunya telah mempersiapkan tunggangannya itu sebaik mungkin untuk melahap perjalanan yang terbilang tidak dekat. Jakarta-Subang, Jakarta-Solo, Jakarta-Jogja, Denpasar-Bojonegoro atau jarak yang lebih jauh dari itu.
Doa kita, mudah-mudahan para pemudik itu selamat sampai tujuan. Dan bisa berlebaran di kampung halaman dengan nyaman.

Mengapa mereka jauh-jauh bermotor, tentu bisa dicari alasannya. Salah satunya, dengan bermotor, sesampainya di kampung halaman, kendaraan itu bisa dipakai kesana-kemari bersilurrahim. Tentu akan repot mudik pakai angkutan umum, begitu tiba di kampung, akan kemana-mana tak ada kendaraan.

Tetapi, tidak sedikit saya lihat, para pemudik yang selain membonceng penumpang, juga menyertakan barang yang cara mengikatnya kurang aman. Mereka hanya memakai tali rafia. Dus-dus entah berisi apa itu, tidak jarang dibuatkan tempat di ekor motor. Ekor buatan itu bisa berupa dua kayu yang ditautkan. Tetapi, dengan hanya mengikatnya memakai tali rafia, kardus-kardus itu karena efek geronjalan di jalan, tali-talinya mudah kendur. Dan itu bisa berbahaya. Jatuh di jalan, misalnya. Itu tidak akan terjadi bila pemudik mengikatnya menggunakan karet dari ban dalam bekas. Karena sifat karet yang elastis, ketika kardus itu mengempis, ia tetap bisa mengikatnya dengan erat.

SEKALIPUN tidak mudik, si Nenen juga tetap saya perhatikan kondisinya. Kemarin, selepas makan sahur, saya ganti olinya. Ohya, dalam setiap ganti oli saya memang mencatatnya pada sebuah kertas. Dari situ saya tahu, si Nenen terakhir ganti oli di AHASS pada tanggal 22 Juni 2013 dan di odometernya menunjuk angka 41365 km. Nah, kemarin itu, ketika ia saya ganti memakai Enduro-nya Pertamina (karena kalau di AHASS ia selalu pakai Federal), odometer telah menunjuk 43241 km. Artinya, dengan Federal, ia telah menempuh jarak 1800 km lebih. Sudah waktunya ganti oli.

Tentang kenapa saya pagi-pagi sekali ganti oli? Tentu saat itu, setelah semalaman mesin mati, kondisi logamnya tentu dingin. Nah, saat itulah tingkat pemuaiannya nol persen. Saya pikir itu saat aman untuk melepas baut penutup oli agar terbebeas dari risiko membuka secara ‘memerkosa’.

Okelah, bagi yang mudik, selamat mudik. Hati-hati di jalan, semoga selamat sampai kampung halaman. Berlebaran dengan keluarga dengan lega, tanpa ada bumbu cerita-cerita duka. Salam.*****