BERAPA
jarak waktu ideal untuk mengganti gear-rantai secara total untuk
motor Supra X-125?
Itu
pertanyaan yang ada di kepala saya melihat kenyataan rantai si Nenen
saya ini sudah agak berisik bila dkendarai. Kalau ngebut sih tidak
kedengaran, tetapi saat dikendarai secara pelan, kerasa betul bunyi
itu. Ohya, si Nenen ini saya beli tahun 2010 pada pertengahan Mei.
Secara gampang ia sudah saya kendarai selama 4 tahun, dengan jarak tempuh rata-rata 50 km/hari. Nah, memang
sudah waktunyakah di usa pemakaian segitu gir-rantainya diganti?
Niat
untuk mengganti itu sebenarnya sudah ada sejak tiga bulan yang lalu.
Tetapi ketika hal itu saya utarakan kepada seorang teman yang agak
mengerti motor, dan saya disarankan untuk memotong saja rantainya dulu.
Toh gerigi gir-nya belum lancip, yang itu tandanya, menurut si teman,
ia masih layak untuk dipakai. Tetapi mengingat setelan rantai sudah
mentok, dipotong adalah satu-satunya cara yang masuk akal (baca:
murah, bahkan tanpa biaya).
Tidak
hanya menyarankan, si teman itu jugalah yang memotongkan ranti si
Nenen. Benar memang, setelah 'diamputasi', si rantai kembai 'normal',
bisa disetel, sekaligus tidak lagi berisik. Namun, tiga bulan
kemudian, si rantai kembali bersuara. Bisa sih disetel dengan
dikencangkan lagi, atau nanti dipotong lagi. Tetapi, karena rencananya
lebaran nanti si Nenen saya pakai perjalanan mudik jarak jauh,
sepertinya agak riskan kalau si rantai itu kembali saya 'amputasi'. Ya,
harus ganti baru.
Kebetulan,
waktu tiga bulan yang lalu itu sebenarnya saya sudah membeli satu set rantai
untuk Supra X-125 seharga 130 ribu, namun karena 'kebaikan' teman
saya yang telah memotongkan rantai, tertunda akhirnya si Nenen
berrantai baru. Nah, saat ini, disaat banyak orang menyiapakan baju
baru, tidak ada salahnya juga, saya pikir, saya pakaikan juga rantai
baru buat si Nenen.
Di
sebuah bengkel, sambil sekalian service dan ganti oli, Jumat kemarin
si Nenen resmi berganti rantai. Habis tune-up, oli baru plus rantai baru,
motor ini makin mantap dikendarai. Intinya, menurut saya, ia sudah
siap dibawa mudik nanti.
Tetapi,
bukan berarti segalanya siap. Kemarin sore, sesaat setelah saya
pompa ban belakang yang agak kurang angin, saya temui ada keretakan
pada ban belakang. Ya, retak, bukan robek karena benda asing. Masalah
apa pula ini? Padahal 'batik'-nya si ban merek Federal itu masih bagus, karena masih belum enam bulan saya
ganti. Kalau ban dalamnya malah baru tiga minggu yang
lalu diganti.
“Bahaya
itu,” kata seorang teman. “harus diganti ban baru, supaya tidak pecah saat
dikendarai di jalanan yang panas. Saya juga pernah mengalami itu. Iya, ban si Revo saya retak memanjang pada bagian tengah 'batik'-nya. Sama seperti punya Sampeyan, padahal usia pakai masih belum lama. Saran saya, ya itu tadi, lebih baik ganti ban baru, daripada celaka di jalan.”
Tentu
saja nasihat itu masuk akal, sekaligus menakutkan. Tetapi, kenapa ban
yang secara usia pakai masih tak terlalu lama bisa mengalami keretakan
tersebut?
“Bisa jadi itu karena ban itu lama digudang. Baru
terjual di masa injury time sebelum batas expired. Ya, seperti sepatu
baru tetapi hanya disimpan, pasti bagian bawah/karetnya mrotoli walau
tak pernah dipakai,” begitu logika teman saya.
Benarkah demikian? *****
Senin, 21 Juli 2014
Sabtu, 01 Maret 2014
Satu Supra Sejuta Saudara?
SEBELUM
punya si Nenen ini, tunggangan saya kemana-mana adalah Astrea Grand
Impressa keluaran '97. Kalau diingat-ingat lagi sekarang, saya agak
menyesal juga telah menjualnya. Lebih-lebih ketika melihat seorang
teman masih merawat Honda Prima-nya walau sudah punya si Jupiter dari
Yamaha.
“Aku
bisa punya Jupiter ini juga karena si Prima,” ujarnya. “Jadi,
sebagai rasa terima kasih, aku tidak akan menjual kendaraan yang
kumiliki pertama...”
Tentu,
kenapa saya menjual si Grand ada pertimbangannya. Selain ia bikin
rumah yang sempit jadi sesak, juga (ini yang utama) karena saya waktu
itu lagi butuh duit.
Tentang
kenangan bersama si Grand, jangan ditanya. Ada banyak sekali. Dari
yang mogok karena kebanjiran, gara-gara cop busi yang rusak, atau ban
kempis di tengah bulak (persawahan yang jauh dari perkampungan).
Sekarang, sekali lagi, kalau mengenang itu, duh sayang sekali....
Sebagai
kendaraan tua, rewel ini-itu bahkan pernah sampai turun mesin, adalah
hal lumrah. Dan di situ itulah seninya. Dibanding, misalnya, si Nenen
ini yang karena terbilang baru, jarang sekali ada keluhan.
Tetapi,
tentang rasa senasib antar sesama pengguna kendaraan, tiada yang
mengalahkan satu jiwanya pemilik Vespa. Seorang teman yang memiliki
'tunggangan kebangsaan' berjenis Vespa kepada saya sempat berucap,
“Walau tidak kenal, ketika Vespa saya ini mogok di suatu tempat,
ketika ada pengendara Vespa lain, pasti akan berhenti, menolong. “
Itu,
kalau benar ceritanya, sungguh tak saya alami kala dulu si Grand saya
mogok. Walau ada beberapa pengendara yang menunggang Grand, tak satu
pun dari mereka yang berhenti untuk, paling tidak, sekadar bertanya
'kenapa', misalnya.
Cerita
teman itu makin saya percaya ketika di sebuah program dokumenter yang
ditayang MetroTV beberapa hari yang lalu mengangkat kisah Satu Vespa
Sejuta Saudara. Digambarkan di situ betapa antar sesama Scooterist
(begitu pengendara Vespa menyebut dirinya) erat sekali hubungannya.
Tak kenal tapi bila mendapati seseorang mengendarai Vespa, di mana
pun tempatnya, itu telah dianggap sebagai saudara.
Entahlah,
atas cermin dari para Scooterist itu, apakah sesama pengguna SupraX
mempunyai itikat untuk membuat hal yang sama. Seraya (walau latah
meniru slogan milik mereka) menebar semangat; Satu Supra Sejuta
Saudara. *****
Langganan:
Postingan (Atom)