GERIMIS turun tinggal satu-dua ketika saya
memanaskan mesin di parkiran, sore tadi. Pada display odometer digital si Nenen menunjuk angka cantik; 47272.7
km, sementara layar ponsel mEmampang jam 16.09 di sisi kanan bawah. Pada saat
itu saya melepas sepatu dan berganti memakai sandal. Dalam bermotor, tentu saja
dengan mengenakan sepatu kaki akan lebih aman.
Tetapi di saat gerimis begini, ketika jalanan banyak genangan sisa
hujan, sepatu dikenakan bagi saya terasa eman-eman.
Tiga menit
berselang, saya sudah berada di pos BRC, menjulurkan jari kelingking untuk
dipindai pada alat finger print. Semenit
berikutnya, saya sudah berada di pos 1 untuk berhenti sejenak; kali ini body check. Aman, clear. Pak satpam mempersilakan saya keluar, pulang. Namun nahas
bagi Ateng (sejatinya namanya Sunaryo, tetapi lebih dikenal sebagai Ateng),
Astrea Prima keluaran tahun ’91 dengan nopol cakep L 2225 K-nya mogok. Padahal siang
tadi saya lihat telah diutak-atik karboratornya. “Kabelnya nempel bodi,”
katanya ketika saya tanya.
Saya hanya
bertanya, karena untuk urusan utak-atik motor ia memang jagonya. Saya? Oh,
jangan tanya, unutuk urusan permesinan, sama sekali buta!
Demi melihat
langit masih hitam sementara gerimis belum juga bosan turun, pak Sulton (satpam yang
sedang kebagian berjaga di Pos 1) menyarankan saya memakai jas hujan. Baiklah,
saya pikir itu juga tidak salah; hitung-hitung dalam rangka bersiap-siap, siapa
tahu di depan hujan deras lagi. Atau walau tidak begitu, bagi pengendara motor,
lebih baik hujan sekalian, daripada gerimis atau jalanan basah habis hujan. Bukannya
kenapa, bila hujan sudah reda tetapi jalanan masih basah, bila tak memakai
mantel, kecipratan ketika disalip motor atau mobil, bila terkena pakaian noda
jalanan agak sukar dibersihkan.
Seorang teman
yang kebagian masuk sift sore tadi bilang, HR Muhammad, Mayjen Sungkono sampai
jalan Diponegoro macet tidak karuan. Namun saya tetap tidak menunda untuk
pulang, selain ingin membuktikan separah apakah kemacetan itu, sebab lainnya
adalah demi membuat catatan ini.