SEBAGAIMANA pada
peristiwa mudik lebaran tahun-tahun yang lalu, moda transportasi yang banyak
digunakan para pemudik adalah motor. Walau telah ada anjuran untuk mudik
menggunakan moda lain, para pemotor (pemudik pakai motor) ini tetaplah besar. Memang
ada sebagian pemudik yang mengirimkan motornya pakai kereta api atau diangkut
truk, tetapi, yang bermotor menempuh perjalanan jauh berdua atau bertiga
(berempat, kadang) tetaplah ada.
Tentang risiko keselamatan di jalan tentulah memang nyata
adanya. Dan itu tidak melulu menghantui para pemudik pakai motor. Namun,
sebagaimana kita mafhum, pengemudi motor, kalau terjadi lakalantas di jalan,
adalah pihak yang paling rentan mengalami risiko terparah. Tentang ini bukanlah
hal yanh tidak diketahui para pemudik pakai motor itu. Tetapi, umumnya, mereka
nekat bermotor sambil mengangkut beban yang lumayan banyak itu, perhitungannya
ekonomi juga. Dengan bermotor, ada banyak penghematan yang dilakukan. Dan hasil
dari penghematan itu, bisa dibelanjakan untuk hal-hal lain sesampainya di
kampung nanti.
Tetapi yang tetap tak boleh dilupakan para pemotor itu,
adalah kondisi kesehatan, baik pengendara maupun motornya sendiri. Dan ini,
sepertinya, telah diantisapasi jauh-jauh hari. Buktinya, dua minggu sebelum
mudik, tak satupun bengkel motor yang sepi. Banyaknya motor yang diservis,
menunjukkan si empunya telah mempersiapkan tunggangannya itu sebaik mungkin
untuk melahap perjalanan yang terbilang tidak dekat. Jakarta-Subang,
Jakarta-Solo, Jakarta-Jogja, Denpasar-Bojonegoro atau jarak yang lebih jauh
dari itu.
Doa kita, mudah-mudahan para pemudik itu selamat sampai
tujuan. Dan bisa berlebaran di kampung halaman dengan nyaman.
Mengapa mereka jauh-jauh bermotor, tentu bisa dicari
alasannya. Salah satunya, dengan bermotor, sesampainya di kampung halaman,
kendaraan itu bisa dipakai kesana-kemari bersilurrahim. Tentu akan repot mudik
pakai angkutan umum, begitu tiba di kampung, akan kemana-mana tak ada kendaraan.
Tetapi, tidak sedikit saya lihat, para pemudik yang selain
membonceng penumpang, juga menyertakan barang yang cara mengikatnya kurang
aman. Mereka hanya memakai tali rafia. Dus-dus entah berisi apa itu, tidak
jarang dibuatkan tempat di ekor motor. Ekor buatan itu bisa berupa dua kayu
yang ditautkan. Tetapi, dengan hanya mengikatnya memakai tali rafia,
kardus-kardus itu karena efek geronjalan di jalan, tali-talinya mudah kendur. Dan
itu bisa berbahaya. Jatuh di jalan, misalnya. Itu tidak akan terjadi bila
pemudik mengikatnya menggunakan karet dari ban dalam bekas. Karena sifat karet
yang elastis, ketika kardus itu mengempis, ia tetap bisa mengikatnya dengan
erat.
SEKALIPUN tidak
mudik, si Nenen juga tetap saya perhatikan kondisinya. Kemarin, selepas makan
sahur, saya ganti olinya. Ohya, dalam setiap ganti oli saya memang mencatatnya
pada sebuah kertas. Dari situ saya tahu, si Nenen terakhir ganti oli di AHASS
pada tanggal 22 Juni 2013 dan di odometernya menunjuk angka 41365 km. Nah,
kemarin itu, ketika ia saya ganti memakai Enduro-nya Pertamina (karena kalau di
AHASS ia selalu pakai Federal), odometer telah menunjuk 43241 km. Artinya,
dengan Federal, ia telah menempuh jarak 1800 km lebih. Sudah waktunya ganti
oli.
Tentang kenapa saya pagi-pagi sekali ganti oli? Tentu saat
itu, setelah semalaman mesin mati, kondisi logamnya tentu dingin. Nah, saat
itulah tingkat pemuaiannya nol persen. Saya pikir itu saat aman untuk melepas
baut penutup oli agar terbebeas dari risiko membuka secara ‘memerkosa’.
Okelah, bagi yang mudik, selamat mudik. Hati-hati di jalan,
semoga selamat sampai kampung halaman. Berlebaran dengan keluarga dengan lega,
tanpa ada bumbu cerita-cerita duka. Salam.*****